REKONSTRUKSI TEKNIS
PENYELESAIAN KEWARISAN MUNASAKHAT DI PENGADILAN AGAMA [1]
Oleh Erfani Aljan Abdullah, S.H.I., M.E.Sy.
(Hakim Pengadilan Agama Kajen, Kabupaten Pekalongan)
Pendahuluan
Undang-Undang Peradilan Agama secara tegas memberikan kewenangan bagi peradilan agama untuk menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara di bidang kewarisan meliputi penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Dari uraian kewenangan peradilan agama di bidang kewarisan tersebut, sedianya dapat diketahui adanya dua jenis perkara kewarisan yang dapat diperkarakan di pengadilan agama, yaitu jenis perkara kontentius (gugatan), dan jenis perkara voluntair (Permohonan). Yang masuk dalam kategori perkara gugatan kewarisan adalah semua bentuk sengketa yang berhubungan dengan kewarisan di antara orang-orang Islam (terhadap pewaris yang beragama Islam) yaitu mengenai penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan objek apa saja yang merupakan harta peninggalan (tirkah) pewaris, penentuan berapa bagian masing- masing ahli waris, serta pelaksanaan atau eksekusi atas putusan di bidang kewarisan. Adapun jenis perkara voluntair atau perkara permohonan dibidang kewarisan, hanya dibatasi ke dalam dua bentuk, 1) PerkaraPermohonan Penetapan Ahli waris, dan/atau 2) Perkara PermohonanPenentuan Bagian masing-masing ahli waris. Umumnya dua jenis perkaraini, digabung dalam satu perkara Permohonan Penetapan Ahli Warisberikut permohonan (petitum) untuk ditentukan pula berapa bagianmasing-masing ahli waris. Sehingga dengan demikian, dalam perkara Permohonan (Voluntair) di bidang kewarisan tidak dibenarkan adanya penentuan mengenai objek harta peninggalan pewaris. Hal ini selain karena prinsip perkara voluntair hanyalah sepanjang ditentukan oleh undang-undang, juga karena penentuan objek harta peninggalan akan melibatkan pihak-pihak di luar para Pemohon, sehingga cenderung terdapat lawan dan juga sangat berpotensi mengandung sengketa.
[1] Artikel ini telah tayang sebelumnya di website Badilag dengan judul yang sama